Film di kepala

Sebelum bertemu orang, apalagi orang baru, adakalanya kita membayangkan situasi komunikasi yang akan terjadi. Mungkin sosoknya galak, dan susah diajak berembug. Terbayang kita gugup berbicara. Keringat mengucur. Kata-kata keluar sepatah demi sepatah.

Atau, mungkin kita membayangkan orang itu baik, menyambut hangat, dan mau mendengarkan dengan cermat. Kita sedang berbicara lancar, penuh senyum dan meyakinkan. 
Kita juga menambahkan voice over, suara-suara, mirip pemandu cerita di film anak-anak. “Waduh, apakah saya mampu meyakinkannya” atau “Sunggung ini pengalaman yang menyenangkan.”

Sepertinya, ada film di kepala kita. Mengalir ceritanya. Mungkin dipengaruhi pengalaman berkomunikasi sebelumnya. Bisa juga oleh cerita-cerita yang didengar dari orang lain. Atau, bisa juga karena prasangka belaka.

Film di kepala adalah salah contoh komunikasi pada diri sendiri atau yang disebut sebagai komunikasi intrapersonal.  

Bagaimana kita berbicara pada diri sendiri sesungguhnya ikut mempengaruhi perilaku berkomunikasi kita nantinya atau saat benar-benar bertemu dengan orangnya. Walaupun, tentu saja, tidak 100% begitu karena faktor-faktor lain.

Membayangkan situasi komunikasi negatif, sulit, ditolak, atau direndahkan akan memunculkan perasaan khawatir. Ada ketakutan menghadapi orang itu. Perasaan itu lalu menjalar ke pikiran dan tubuh. Pikiran tegang. Lidah yang biasanya lihai berkata-kata menjadi kelu.
Untungnya, sutradaranya adalah kita sendiri. Selama masih di kepala sendiri, kita bisa menentukan bagaimana sosok orang yang akan dihadapi dan bagaimana sosok kita sendiri. Juga, bagaimana adegan-adegan yang berlangsung. Karena itu, kita perlu menyusun film yang positif di kepala kita.

Sekitar tahun 2008 saya bersama tim diundang sebuah kementerian untuk berbagi teknik-teknik mengembangkan partisipasi di masyarakat. Saat sesi berlangsung saya terkejut melihat anggota tim yang tiba-tiba lupa. Blank. Juga mengirim kode, minta pertolongan. Akhirnya, saya mengambil alih sesi-sesi yang mestinya mereka tangani.

Di sela rehat, saya tanyakan, “Ada apa ini? Kalian kan sangat menguasai?” Mereka sudah hampir setahun praktik teknik yang sama di lapangan. Puluhan kali sudah mempraktikkan. Jadi, mestinya sudah di luar kepala.

Jawabannya, “Kerja di Jakarta Utara kan bersama ibu-ibu Posyandu. Mudah itu sih. Di sini, kan banyak ahlinya, Kang.”

Saya terdiam, tidak melanjutkan percakapan. Namun, setelah acara itu saya buat sesi khusus bersama untuk membongkar film yang ada di kepala mereka. 

Ternyata, orang-orang dari  kementerian dibayangkan sebagai ahli-ahli yang kritis, berpendidikan tinggi, berpengalaman dan mampu melihat kesalahan-kesalahan tim.  Sementara, saat menghadapi ibu-ibu Posyandu, tim merasa di atas angin. Lulusan perguruan tinggi jauh lebih tahu dibandingkan ibu-ibu kampung. Karenanya, mereka maerasa pantas untuk mengajar.

Persoalannya ternyata di situ. Sombong itu “menang” menghadapi orang yang dianggap lebih rendah. Tetapi, “kalah” ketika menghadapi orang yang lebih tinggi.

Bertahap filmnya diganti. Dibuat cerita yang menekankan sikap rendah hati dan ingin belajar. Mengapa demikian? Karena sikap rendah hati dan ingin belajar dapat diaplikasikan saat berkomunikasi pada semua kelompok. Saat menghadapi kelompok lebih ahli, kita tidak khawatir. Tenang saja, toh kita tidak mengajari mereka. Kita justru ingin belajar dari mereka. Saat menghadapi masyarakat awam, kita juga jadi lebih santai dan senang, karena kita memanusiakan dan menghargai mereka. Dalam kondisi tenang, santai, atau senang, mudah berkomunikasi dengan semua orang.

No comments:

Post a Comment

Kesempatan EMAS saat karyawan membawa anak ke kantor

Sehabis hari raya, tidak sedikit karyawan membawa anaknya ke kantor. Apakah Anda pernah merasa kesal dengan itu? Wah, jangan.  Saya tida...

Yang paling sering disimak